APA ITU ISLAM KAFFAH?
APA ITU ISLAM KAFFAH?
“
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah, 2/208)
Azbabun Nuzul Sabab nuzul ayat ini menurut
Imam Al-Baghawi dalam tafsirnya berkaitan dengan masuk Islamnya seorang
Ahli Kitab Yahudi Bani Nadhir bernama AbduLLAH bin Salam dan
teman-temannya, namun setelah memeluk Islam ia tetap menganggap mulianya
hari Sabtu & tidak mau memakan daging unta, kemudian mereka pun
menyatakan:
“Wahai RasuluLLAH, bukankah Taurat itu adalah KitabuLLAH? Maka izinkan kami tetap membacanya dalam shalat-shalat malam kami?”
Maka turunlah ayat ini. Hadits ini disebutkan pula oleh pengarang
kitab Jallalain dalam tafsirnya dan pengarang kitab Al-Wajiz [3].
Sementara pengarang kitab Zaadul Masiir menyatakan dalam tafsirnya bahwa
ada 3 pendapat berkaitan dengan nuzul-nya ayat ini:
Pertama, ia berkaitan dengan peristiwa Ibnu Salam (sanadnya dari Abu
Shalih dari Ibnu Abbas ra), kedua ia berkaitan dengan Ahli Kitab yang
tidak mau beriman pada nabi Muhammad SAW (sanadnya diriwayatkan juga –
tapi menggunakan kata ruwiya ‘an – dari Ibnu Abbas ra, disebutkan juga
oleh Adh Dhahhak), ketiga ia diturunkan untuk kaum muslimin agar
mengimani & melaksanakan semua syariat Islam (sanadnya diriwayatkan
oleh Mujahid & Qatadah ra). TAFSIR AYAT Imam Ibnu Katsir dalam
tafsirnya menafsirkan maknanya sebagai: “Masuklah ke dalam ketaatan
seluruhnya.” Ia menyitir pendapat Ibnu Abbas, Mujahid, Abul ‘Aliyah,
Ikrimah, Rabi’ bin Anas, As-Suddiy, Muqatil bin Hayyan, Qatadah,
Adh-Dhahhak, berkata mereka bahwa makna ( كافة ) dalam ayat tersebut:
“Beramallah dengan semua amal & seluruh bentuk kebajikan.”
Imam At-Thabari dalam tafsirnya memilih pendapat yang menafsirkannya:
“Masuklah ke dalam Islam keseluruhannya.” Iapun menyitir atsar lainnya
dari Mujahid, Qatadah, Ibnu Abbas, As-Suddiy, Ibnu Zaid dan Adh-Dhahhak
yang berpendapat demikian. Ini pula pendapat Imam Al-Qurthubi dalam
tafsirnya, demikian pula Imam Al-Baghawi, dan pengarang kitab Fathul
Qadir.
Seperti yang kita tahu dalam ayat ini beserta tafsir yang diberikan
adalah menggambarkan bahwa islam yang kaffah adalah sebuah
pengaplikasian dari kalimat klasik yang sering kita dengar dari para
penceramah yaitu “mentaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya”
sebenarnya itu sudah kaffah, yaitu kita berusaha menerapkan islam dengan
keseluruhan, tanpa ada yang terhalang-halangi.
Pertanyaanya adalah, apakah islam kaffah itu bisa dilakukan individu?
Allah telah memberikan 3 macam aturan untuk dilaksanakan manusia,
yaitu aturan jenis hubungan dengan Allah, jenis hubungan dengan sesama
manusia, dan hubungan dengan diri sendiri. Meskipun berbeda jenis namun
dari ketiga hal ini semuanya berhubungan dan berkesinambungan.
Hubungan dengan Allah, contohnya adalah ibadah-ibadah ritual yang
selama ini kita lakukan, yaitu shalat, zakat, shalat sunnah (rawwatib,
tahhajud, dhuha), puasa, dsb. Namun juga tak terlepas ada kewajiban
shalat berjamaah bagi umat muslim, dan berzakat untuk membagikan rizki,
sebagai habluminannas, dan menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat
(shalat) sebagai hubungan dengan diri sendiri.
Begitu pula dengan yang lainnya seperti akhlaq, akhlaq itu selain
juga mentaati perintah Allah dengan mengurusi saudaranya sesma amusli
atas dasar syara’, juga memberikan kebiasaan positif pada diri sendiri,
sekaligus menutup aib diri sendiri. “Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang
beruntung.” (Al imran 104)
Begitupula dengan hubungan diri sendiri… bisa dilihat contohnya di atas..
Jadi kesimpulannya, islam tidak bisa diterapkan secara kaffah, jika
kita berindividu semata, dan tidak ada orang-orang lain di sekitar kita
yang bisa kita ajak, tidak semua perintah Allah bisa kita laksanakan
jika kita tidak bisa berinteraksi dengan sesame, seperti penerapan
akhlaq kepada orang tua, kepada tetangga, mu’amalat kepada muslim lain,
atau kafir mu’ahad.
Seperti yang kita tahu, hokum islam itu bukan hanya seputar ritual
saja, namun juga mu’amalat. Dari situlah kita disini mengenal yang
namanya pemimpin. Apa hubungannya? Hubungannya adalah, ketika kita
bersosialisasi dengan masyarakat lain, maka kita tentu tahu yang namanya
manusia itu pastilah berbeda tingkat iman dan taqwanya, ada yang
mu’min, ahli ibadah, ahli hokum, bahkan ahli maksiat, atau orang
kafirpun ada.
Karena itu jika mereka berkumpul dan bersepakat untuk hidup bersama
dan bertentangga, maka mereka diwajibkan untuk memilih salah seorang
pemimpin diantara mereka.
Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika tiga orang
keluar untuk safar maka angkatlah salah satu di antara kalian sebagai
pemimpin.” (HR. Abu Daud, dan berkata Al-Albani rahimahullah : “Hadits
hasan shahih).
“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang
memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada,
mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat,
dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah,” (Al-Anbiya 73)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran)
dan Rasul (sunnahnya),”(An-Nisa 59)
Apa fungsinya seorang pemimpin ini? Yaitu untuk menjaga, umatnya
dari kemaksiatan-kemaksiatan yang muncul diantara mereka. Yang
menyebabkan mereka berpecah, berselisih dan menghancurkan diri mereka
sendiri.
“Kamu sekalian adalah penggembala dan setiap orang bertanggung
jawab terhadap gembalaannya. Seorang pemimpin adalah penggembala dan
bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang laki-laki seperti
penggembala bagi keluarganya dan ia bertanggung jawab terhadap
gembalaannya. Seorang wanita seperti penggembala terhadap rumah suami
dan anak-anaknya, dan bertanggung jawab terhadap mereka. Dan, seorang
pembantu adalah penjaga harta tuannya dan bertanggung jawab terhadap
yang dijaganya. Jadi, kamu sekalian adalah penjaga dan bertanggung jawab
terhadap tugasnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Maka dari itulah, seorang pemimpin ini bertugas mengkoordinir agar
bagaimana supaya masyarakat ini bias menerapkan hokum islam secara
totaliter tanpa mengusik kafir yang ada didalamnya.
Apa saja hokum islam mu’amalat?
sebagai contohnya ada beberapa yaitu hokum zakat, Jual,-beli, dan
riba. Didalm islam ada hokum zakat, dan sesungguhnya tidak ada perintah
zakat hanya dberikan kepada umat muslim semata, namun juga orang-orang
kafir yang mu’ahad, asalkan kriterianya jelas tertera dalam syara’ :
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk
jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai
suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana”(At Taubah 60)
dan zakat ini wajib juga, bukan hanya untuk umat muslim semata, namun juga kafir mu’ahad yang kaya.
“
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan[ dan mensucikan[mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(At-Taubah 103)
didalam islam juga ada Riba, dan hokum riba inipun bersifat umum,
yang mana ia bisa diterapkan pada kafir yang ingin bermu’amalat kepada
muslim. Yang mana hokum ini secara tegas melarang Riba karena
mudharatnya.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.”(Al Imran 130)
“….padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …” (Al-Baqarah 273)
Jika kita melihat manfaat dan mudharat, maka disini bisa kita lihat
keadaan bank-bank syari’ah dan bank konvensional pada saat
gonjang-ganjingnya krisis dunia. Hal itu merupakan perbedaan yang nyata,
walaupun tak sepenuhnya bank syari’ah itu menggunakan hokum syari’ah
(bisa dibahas lain kali).
Lalu bahkan juga ada hokum-hukum pidana yang tegas di syari’atkan oleh Allah yang sering ditakuti kaum muslimin yaitu seperti :
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Maaidah 38)
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029]
(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka
deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah
kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah
orang-orang yang fasik.” (An-Nuur 4)
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah,
jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang
beriman.“ (An-Nuur 2)
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa
yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang
mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi
ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik
(pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan
suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya
siksa yang sangat pedih” (al baqarah 178)
“….dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar (Maksudnya
yang dibenarkan oleh syara’ seperti qishash membunuh orang murtad, rajam
dan sebagainya)” (Al-An’am 151)
Maka dari sini bisa kita simpulkan, jika aturan-aturan ini diterapkan
tanpa seorang pemimpin diantara kalian, maka bisa jadi kalian akan
mnerapkannya dengan sesuka hati dan bahkan kekacauan dalam masyarakatpun
terjadi akibatnya. Karena itulah ada qadhi/hakim bagi penentu hokum
untuk mereka. Seperti yang kita lihat di zaman ini, yaitu hokum warisan
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula)
dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan.”(An-Nissa 7)
Coba jika hal ini diterapkan sendiri2 pada anggota keluarga, pastilah
tiap anggota keluarga itu ada yang serakah, ada yang taat, ada yang
ikhlas, dan sebagainya. Akibatnya adalha terjadilah kekacauan yang dapat
menghancurkan ikatan saudara mereka. Maka dari itu, disana pastilah
dipimpin oleh seorang ulama yang dipanggil, atau seorang mahkamah agama,
atau seorang ayah yang paham agama untuk membuat keputusan di antara
mereka. Inilah islam kaffah, islam dimana setiap kewajibannya terpenuhi,
dan juga sanggup bersikap adil walaupun dengan orang-orang kafir.
Karena memang islam itu dating sebagai rahmat bagi seluruh alam.
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Al Anbiya 107)
Wallahu a’lam…